UJIAN TENGAH
SEMESTER (UTS)
TEORI-TEORI
BELAJAR DALAM PENDIDIKAN AGAMA KRISTEN (PAK)
Jawablah pertanyaan berikut dengan
pemahaman Saudara secara komprehensif, mendalam, sistematis, kritis dan
terukur!
1. Jika
menelaah literatur psikologi, kita akan menemukan sejumlah teori belajar yang
bersumber dari aliran aliran psikologi. Di bawah ini akan dikemukakan empat
jenis teori belajar, yaitu: (A) teori belajar
behaviorisme, (B) teori belajar kognitif Piaget, (C) teori
belajar pemrosesan informasi, dan (D) teori belajar Gestalt. Dari keempat teori belajar ini, Saudara harus
menjelaskan dan menganalisis beberapa hal:
a)
Terlebih dahulu jelaskan
keempat teori belajar tersebut menurut bahasa Saudara, bukan bahasa diktat.
Cantumkan tokoh-tokoh yang berperan penting dalam teori tersebut.
b)
Dari keempat teori belajar
tersebut, kritisi teori mana yang menurut Saudara tidak setuju atau setuju
menurut kacamata Alkitab! Sertakan ayat-ayat Alkitab untuk mendukung komentar Saudara.
c)
Pada akhirnya dari keempat teori tersebut, teori manakah
yang dapat Saudara terapkan dalam pembelajaran PAK dalam profesi guru
Pendidikan Agama Kristen (PAK).
JAWABAN
A. Teori
belajar behavioristik adalah sebuah
teori yang dicetuskan oleh Gagne dan
Berliner tentang perubahan tingkah
laku sebagai hasil dari pengalaman. Teori ini lalu berkembang menjadi aliran
psikologi belajar yang berpengaruh terhadap arah pengembangan teori dan praktek
pendidikan dan pembelajaran yang dikenal sebagai aliran behavioristik. Aliran
ini menekankan pada terbentuknya perilaku yang tampak sebagai hasil belajar. Teori behavioristik dengan model hubungan
stimulus-responnya, mendudukkan orang yang belajar sebagai individu yang pasif.
Respon atau perilaku tertentu dengan menggunakan metode pelatihan atau pembiasaan
semata. Munculnya perilaku akan semakin
kuat bila diberikan penguatan dan akan menghilang bila dikenai hukuman.
Tokoh-tokoh aliran behavioristik di antaranya adalah Edward Lee Thorndike, Ivan Petrovich Pavlov, B. F. Skinner.
Connectionism (Stimulus-Response) menurut Edward Lee Thorndike (1874-1949). Eksperimen Thorndike ini menggunakan hewan-hewan
terutama kucing untuk mengetahui fenomena belajar. Dari eksperimen
kucing lapar yang dimasukkan dalam sangkar (puzzle box) diketahui bahwa supaya
tercapai hubungan antara stimulus dan respons, perlu adanya kemampuan untuk
memilih respons yang tepat serta melalui usaha-usaha atau percobaan-percobaan
(trials) dan kegagalan-kegagalan (error) terlebih dahulu. Oleh karena itu, teori belajar yang dikemukakan oleh
Thorndike ini sering disebut dengan teori
belajar koneksionisme atau teori asosiasi.
Percobaan
Thorndike yang terkenal dengan binatang coba kucing yang telah dilaparkan dan
diletakkan di dalam sangkar yang tertutup dan pintunya dapat dibuka secara otomatis
apabila kenop yang terletak di dalam sangkar tersebut tersentuh. Percobaan
tersebut menghasilkan teori “trial and error” atau “selecting and conecting”,
yaitu bahwa belajar itu terjadi dengan
cara mencoba-coba dan membuat salah. Dalam melaksanakan coba-coba ini,
kucing tersebut cenderung untuk meninggalkan perbuatan-perbuatan yang tidak
mempunyai hasil.
Dalam percobaan
tersebut apabila di luar sangkar diletakkan makanan, maka kucing berusaha untuk
mencapainya dengan cara meloncat-loncat kian kemari. Dengan tidak tersengaja
kucing telah menyentuh kenop, maka terbukalah pintu sangkar tersebut, dan
kucing segera lari ke tempat makan. Percobaan ini diulangi untuk beberapa kali,
dan setelah kurang lebih 10 sampai dengan 12 kali, kucing baru dapat dengan sengaja
menyentuh kenop tersebut apabila di luar diletakkan makanan.
Belajar
merupakan akibat adanya interaksi antara stimulus dan respon. Seseorang dianggap telah belajar sesuatu
jika dia dapat menunjukkan perubahan perilakunya. Menurut teori ini dalam belajar yang penting adalah input yang
berupa stimulus dan output yang berupa respon. Stimulus adalah apa saja
yang diberikan guru kepada pebelajar, sedangkan respon berupa reaksi atau
tanggapan pebelajar terhadap stimulus yang diberikan oleh guru tersebut. Proses
yang terjadi antara stimulus dan respon tidak penting untuk diperhatikan karena
tidak dapat diamati dan tidak dapat diukur. Yang dapat diamati adalah stimulus
dan respon, oleh karena itu apa yang
diberikan oleh guru (stimulus) dan apa yang diterima oleh pebelajar (respon)
harus dapat diamati dan diukur. Teori ini mengutamakan pengukuran, sebab
pengukuran merupakan suatu hal penting untuk melihat terjadi atau tidaknya perubahan
tingkah laku tersebut.
Faktor lain yang
dianggap penting oleh aliran behavioristik adalah faktor penguatan
(reinforcement). Bila penguatan
ditambahkan (positive reinforcement) maka respon akan semakin kuat. Begitu pula bila respon
dikurangi/dihilangkan (negative reinforcement) maka respon juga semakin kuat.
Kita ambil
contoh, suatu saat seorang peserta didik mau belajar giat setelah diberi
stimulus tertentu. Tetapi karena satu dan lain hal, peserta didik tersebut
tiba-tiba tidak mau belajar lagi, padahal kepadanya sudah diberikan stimulus
yang sama atau yang lebih baik dari itu. Disinilah persoalannya. Ternyata teori
tingkah laku ini dianggap
tidak mampu menjelaskan alasan-alasan yang mengacaukan hubungan antara stimulus
dan respon tersebut.
Classical Conditioning (pengkondisian
klasik) menurut Ivan
Petrovich Pavlov (1849-1936). Ia menemukan bahwa ia dapat menggunakan stimulus
netral, seperti sebuah nada atau sinar untuk membentuk perilaku (respons). Hal
ini sesuai dengan pendapat Bakker bahwa yang paling sentral dalam hidup manusia
bukan hanya pikiran, peranan maupun bicara, melainkan tingkah lakunya. Pikiran
mengenai tugas atau rencana baru akan mendapatkan arti yang benar jika ia
berbuat sesuatu. Bertitik tolak dari asumsinya bahwa dengan menggunakan
rangsangan-rangsangan tertentu, perilaku manusia dapat berubah sesuai dengan apa
yang di inginkan. Kemudian Pavlov mengadakan eksperimen dengan menggunakan
binatang (anjing) karena ia menganggap binatang memiliki kesamaan dengan
manusia. Namun demikian, dengan segala kelebihannya, secara hakiki manusia
berbeda dengan binatang.
Operant Conditioning menurut B. F. Skinner (March 20, 1904-August 18, 1990). Skinner tidak sependapat
dengan pandangan S-R dan penjelasan reflex bersyarat dimana stimulus terus
memiliki sifat-sifat kekuatan yang tidak mengendur. Menurut Skinner penjelasan S-R
tentang terjadinya perubahan tingkah laku tidak lengkap untuk menjelaskan
bagaimana organisme berinteraksi dengan lingkungannya. Bukan begitu, banyak
tingkah laku menghasilkan perubahan atau konsekuensi pada lingkungan yang
mempunyai pengaruh terhadap organisme dan dengan begitu mengubah kemungkinan
organisme itu merespon nanti.
Menurut Skinner unsur yang terpenting dalam belajar adalah adanya
penguatan (reinforcement ) dan hukuman (punishment). Penguatan (reinforcement)
adalah konsekuensi yang meningkatkan probabilitas bahwa suatu perilaku akan
terjadi. Sebaliknya, hukuman (punishment) adalah konsekuensi
yang menurunkan probabilitas terjadinya suatu perilaku.
Menurut Kacamata Alkitab
Alkitab menjelaskan bahwa asal mula manusia
adalah dari debu tanah dan Allah menghembuskan nafas hidup (Kej. 2:7). Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa
Kita (Kej. 1:26). Manusia tidak bisa disamakan seperti hewan (kucing, anjing,
tikus) dalam hal belajar, karena manusia adalah makhluk paling mulia dari
ciptaan yang lain serta paling kompleks. Gambar dan rupa Allah merupakan
sesuatu yang khusus dan beda dari ciptaan yang lainnya dan manusia diberikan
kuasa untuk memelihara, melindungi, merawat taman di Eden beserta segala isinya
yang dipercayakan Tuhan kepada mereka.
Di dalam belajar
manusia adalah makhluk yang aktif, contohnya di dalam kelas peserta didik yang hanya
diam saja, hanya memerhatikan guru menjelaskan materi pembelajaran namun
pikirannya pasti berjalan dan memikirkan hal-hal yang dilihat, didengar, dan
dirasakannya meskipun tidak diutarakan/diekspresikan. Penting sekali guru
memberikan penguatan kepada peserta didiknya, apabila hal tersebut terjadi
secara terus-menerus, maka peserta didik tidak akan memiliki semangat di dalam
belajar yang berasal dari dalam dirinya sendiri. Firman Tuhan dalam Amsal 17:22 menjelaskan, bahwa “Hati
yang gembira adalah obat yang manjur, tetapi semangat yang patah mengeringkan
tulang.” Pula dalam Amsal 18:14 dijelaskan,
bahwa “Orang yang bersemangat dapat menanggung penderitaannya, tetapi
siapa akan memulihkan semangat yang patah?”
Belajar itu terjadi dengan cara mencoba-coba dan
membuat salah. Sekilas dari kalimat tersebut kelihatan
“benar”, namun apabila ditelisik lebih dalam lagi didapatkan beberapa hal,
bahwa: pertama, proses belajar adalah bukan karena coba-coba dan membuat salah,
melainkan sesuatu yang harus dijalani oleh pebelajar dan pembelajar. Memang di
dalam pembelajaran ada hal-hal yang membuat pebelajar merasa bosan, gelisah,
kurang konsentrasi dan sebagainya. Hal ini dapat diatasi apabila pebelajar dan
pembelajar memiliki keterkaitan dan ketertarikan dalam menyajikan materi di dalam
kelas. Kedua, didalam belajar mencoba-coba bukan merupakan sesuatu yang setiap
hari dilakukan, namun belajar adalah sesuatu yang pasti. Dalam hal pembelajaran Pendidikan Agama
Kristen (PAK), bahwa Yesus adalah Tuhan dan Juruselamat manusia (1 Yoh. 4:14;
Yud. 1:25) adalah benar dan tidak perlu dicoba-coba. Ketiga, dalam proses
pembelajaran memang ada salah, namun pemahaman penulis mengenai salah adalah
kealfaan pembelajar di dalam melakukan tindakan baik itu terjadi dalam maupun
di luar kelas, contohnya: terlambat memasuki kelas, tidak mengerjakan tugas,
berkata-kata kurang sopan dan sebagainya. Hal tersebut dapat diatasi dengan
melakukan tindakan yang preventif (pencegahan) sebelum terjadi.
Seseorang dianggap telah belajar sesuatu jika dia
dapat menunjukkan perubahan perilakunya. Menurut teori ini dalam belajar
yang penting adalah input yang berupa stimulus dan output yang berupa respon.
Pada kalimat di atas ada benarnya, sebab apabila pebelajar mendapatkan sesuatu
yang bermanfaat untuk hidupnya, maka akan ada perubahan atau kemerdekaan (2
Kor. 3:17). Proses perubahan perilaku tidak segampang membalikkan telapak
tangan, sebab pada dasarnya manusia telah jatuh ke dalam dosa dan telah
kehilangan kemuliaan Allah (Rm. 3:23; 1 Tim. 2:14). Perubahan tersebut harus
aktif dan kontinue (berkelanjutan) dalam kehidupan pebelajar, karena dari
perubahan tersebut akan terbiasa untuk hidup benar di mata Tuhan (Ul. 6:18; 12:25;
1 Raj. 15:5, 11; 2 Raj. 12:2; Ams. 22: 6; 29:17; Ef. 6:4).
Tidak selamanya
seorang guru harus memberikan penguatan (semangat) terhadap peserta didik,
karena banyaknya tugas pendidik dalam menjalani aktivitasnya sehari-hari.
Mungkin dapat saja diberikan kepada sebagian peserta didik, namun hal tersebut
sangat menyita waktunya. Peserta didik harus belajar mandiri, dapat diandalkan,
memiliki pemikiran dan konsep yang benar mengenai belajar. Penguatan dapat
memberikan semangat di dalam belajar, namun sampai kapan penguatan harus
diberikan? Hal ini hendaknya diperhatikan oleh guru agar tidak terkuras waktu
untuk menyampaikan materi pembelajaran.
B.
Teori Belajar Kognitif Jean Piaget (Swiss, 9 Agustus 1896-meninggal 16 September 1980 pada umur 84 tahun).
Menurut Piaget, perkembangan kognitif mempunyai
empat aspek, yaitu:
1)
kematangan, sebagai hasil perkembangan susunan syaraf;
2)
pengalaman, yaitu hubungan timbal balik antara orgnisme dengan dunianya;
3)
interaksi sosial, yaitu pengaruh-pengaruh yang diperoleh dalam
hubungannya dengan lingkungan sosial, dan
4)
ekullibrasi, yaitu adanya kemampuan atau sistem mengatur dalam diri
organisme agar dia selalu mempau mempertahankan keseimbangan dan penyesuaian
diri terhadap lingkungannya.
Menurut Piaget bahwa
perkembangan kognitif individu meliputi empat tahap yaitu:
a)
Periode sensori-motor (0 – 2,0 tahun)
Pada periode ini tingkah laku anak bersifat motorik dan anak menggunakan system penginderaan untuk mengenal lingkungannya untu mengenal obyek.
Pada periode ini tingkah laku anak bersifat motorik dan anak menggunakan system penginderaan untuk mengenal lingkungannya untu mengenal obyek.
b)
Periode pra-operasional (2,0 – 7,0 tahun)
Pada periode ini anak bisa melakukan sesuatu sebagai hasil meniru atau mengamati sesuatu model tingkah laku dan mampu melakukan simbolisasi.
Pada periode ini anak bisa melakukan sesuatu sebagai hasil meniru atau mengamati sesuatu model tingkah laku dan mampu melakukan simbolisasi.
c)
Periode operasional konkret (7,0 – 11,0 tahun)
Pada periode ini anak sudah mampu menggunakan operasi. Pemikiran anak tidak lagi didominasi oleh persepsi, sebab anak mampu memecahkan masalah secara logis.
Pada periode ini anak sudah mampu menggunakan operasi. Pemikiran anak tidak lagi didominasi oleh persepsi, sebab anak mampu memecahkan masalah secara logis.
d)
Periode operasional formal (11,0 – dewasa)
Periode operasi fomal merupakan tingkat puncak perkembangan struktur kognitif, anak remaja mampu berpikir logis untuk semua jenis masalah hipotesis, masalah verbal, dan ia dapat menggunakan penalaran ilmiah dan dapat menerima pandangan orang lain.
Periode operasi fomal merupakan tingkat puncak perkembangan struktur kognitif, anak remaja mampu berpikir logis untuk semua jenis masalah hipotesis, masalah verbal, dan ia dapat menggunakan penalaran ilmiah dan dapat menerima pandangan orang lain.
Belajar akan lebih berhasil apabila disesuaikan dengan
tahap perkembangan kognitif peserta didik. Peserta didik hendaknya diberi
kesempatan untuk melakukan eksperimen dengan obyek fisik, yang ditunjang oleh interaksi
dengan teman sebaya dan dibantu oleh pertanyaan tilikan dari guru. Guru
hendaknya banyak memberikan rangsangan kepada peserta didik agar mau
berinteraksi dengan lingkungan secara aktif, mencari dan menemukan berbagai hal
dari lingkungan.
Menurut Kacamata Alkitab
Dalam pembelajaran
penting sekali melihat perkembangan peserta didik. Perkembangan tersebut
meliputi; tingkat berpikir, usia, cara pandang, etika. Alkitab sangat jelas
sekali menjelaskan mengenai perkembangan anak, bahwa sebagai orangtua harus
mendidik anak-anaknya. Amsal 22:6 bahwa “didiklah orang muda menurut jalan yang patut baginya, maka pada
masa tuanyapun ia tidak akan menyimpang dari pada jalan itu.”
Interaksi dengan
teman sebaya (peer group) sangat berperan penting di dalam perkembangan peserta
didik, misalkan di usia remaja (13-17 tahun) mereka akan suka berkumpul
bersama-sama, membahas hal-hal yang sama, lebih mementingkan kebersamaan. Disamping
itu pula ada banyak hal-hal yang terlihat jelas di usia remaja adanya
pemberontakan terhadap orangtua, karena mengekang dan kegiatan-kegitan yang biasa
mereka lakukan. Efesus 6:4 “Dan
kamu, bapa-bapa, janganlah bangkitkan amarah di dalam hati anak-anakmu, tetapi didiklah
mereka di dalam ajaran dan nasihat Tuhan.” Ayat tersebut menjelaskan peran ayah
di dalam mendidik anak-anaknya, agar supaya tidak mempermalukan keluarga
dikemudian hati, penting sekali di simak bahwa harus didik dalam ajaran dan
nasihat Tuhan.
Peran guru sebagai
penolong tidak harus selalu terjadi, karena pesertadidik membutuhkan kedewasaan
di dalam menjalankan perannya sebagai peserta didik. Apabila berlangsung terus
menerus akan mengakibatkan kekerdilan dalam melakukan sesuatu. Pengaruh dari
teman sebaya sangat berpengaruh terhadap perkembangan mereka. Apabila pengaruhnya
baik maka akan baik, demikian sebaliknya (1 Kor. 15:33). Alkitab menceritakan
mengenai raja Rehabeam yang mendengarkan nasihat dari teman sebayanya dalam
memimpin 10 suku Israel. Di dalam 1 Raja-raja 12:8 “Tetapi ia mengabaikan nasihatyang
diberikan para tua-tua itu, lalu ia meminta nasihat kepada orang-orang muda
yang sebaya dengan dia dan yang mendampinginya.” Sikap sombong dan tidak
menghargai penasihat ditunjukkan oleh Rehabeam demi ambisinya di dalam
menjalankan tugasnya sebagai raja.
Setiap kali Yesus
ditemukan sedang mengajar banyak orang (Mat. 9:35; 13:54; Luk. 13:10, 22; 20:1),
pengajaran Yesus berbeda dengan orang-orang Farisi dan Saduki, karena ada kuasa
di dalam-Nya (Luk. 4:32). Yesus selalu mengajarkan hal-hal yang berbeda dalam
setiap pertemuannya, mengajarkan kasih, kesembuhan, kemunafikan orang-orang
Saduki dan Farisi, menghargai, tanggungjawab dan sebagainya. Hal tersebut
diajarkan kepada murid-murid agar supaya memahami isi dari Injil seutuhnya. Pada
akhirnya dalam mengambil keputusan diperlukan pertolongan Roh Kudus, dalam
menjalankan seluruh proses kehidupan.
C. Teori Belajar Pemrosesan
Informasi dari Robert Gagne (Augustus 21, 1916 – April
28, 2002)
Pembelajaran
merupakan faktor yang sangat penting dalam perkembangan. Perkembangan merupakan
hasil kumulatif dari pembelajaran. Dalam pembelajaran terjadi proses penerimaan informasi,
untuk kemudian diolah sehingga menghasilkan keluaran dalam bentuk hasil belajar. Dalam pemrosesan
informasi terjadi adanya interaksi antara kondisi-kondisi internal dan
kondisi-kondisi eksternal individu. Kondisi internal yaitu keadaan dalam diri
individu yang diperlukan untuk mencapai hasil belajar dan proses kognitif yang
terjadi dalam individu. Sedangkan kondisi eksternal adalah rangsangan dari
lingkungan yang mempengaruhi individu dalam proses pembelajaran.
Model proses belajar yang dikembangkan oleh Gagne didasarkan pada teori
pemrosesan informasi, yaitu sebagai berikut:
Rangsangan yang diterima panca indera akan disalurkan ke pusat syaraf dan
diproses sebagai informasi. Informasi dipilih secara selektif, ada yang
dibuang, ada yang disimpan dalam memori jangka pendek, dan ada yang disimpan
dalam memori jangka panjang. Memori-memori ini tercampur dengan memori yang
telah ada sebelumnya, dan dapat diungkap kembali setelah dilakukan pengolahan.
Menurut Gagne tahapan
proses pembelajaran meliputi delapan fase yaitu:
a)
motivasi; siswa yang belajar harus diberi motivasi untuk memanggil informasi yang
telah dipelajari sebelumnya.
b)
pemahaman; siswa harus memberikan perhatian pada bagian-bagian
yang esensial dari suatu kejadian instruksional, jika belajar akan terjadi.
c)
pemerolehan; apabila siswa memperhatikan informasi yang relevan, maka ia telah siap
untuk menerima pelajaran.
d)
penyimpanan; informasi baru yang diperoleh harus dipindahkan dari memori jangka pendek
ke memori jangka panjang. Ini dapat terjadi melalui penggulangan kembali.
e)
ingatan kembali; pemanggilan dapat ditolong dengan memperhatikan kaitan-kaitan antara konsep
khususnya antara pengetahuan baru dengan pengetahuan sebelumnya.
f)
generalisasi; biasanya informasi itu kurang nilainya, jika tidak dapat diterapkan diluar
konteks di mana informasi itu dipelajari.
g)
perlakuan; tingkah laku yang dapat diamati. Belajar terjadi apabila stimulus
mempengaruhi individu sedemikan rupa sehingga performancenya berubah dari
situasi sebelum belajar kepada situasi sesudah belajar.
h)
umpan balik; para siswa harus memperoleh umpan balik tentang penampilan mereka yang
menunjukkan apakah mereka telah atau belum mengerti tentang apa yang diajarkan.
Penerapan teori
yang salah dalam situasi pembelajaran mengakibatkan terjadinya proses
pembelajaran yang sangat tidak menyenangkan bagi siswa yaitu guru sebagai
sentral bersikap otoriter, komunikasi berlangsung dalam satu arah, guru melatih
dan menentukan apa yang harus dipelajari murid. Penggunaan hukuman yang sangat
dihindari para tokoh behavioristik dianggap metode paling efektif untuk
menertibkan siswa.
Menurut Kacamata Alkitab
Dari teori di
atas, penulis memahami bahwa pengaruh dari luar dan dalam sangat mempengaruhi
proses belajar. Peserta didik yang mengalami gangguan dan hambatan dari dalam
dirinya ataupun keluarganya cenderung akan kurang respon, tidak suka, gelisah
dalam belajar. Sebagai contoh, apabila dimarahi dari rumah, maka akan terus
berlanjut sampai ke sekolah dan berdampak terhadap teman-temannya. Hal ini
harus diantisipasi dengen menyelesaikan masalah tersebut di rumah terlebih
dahulu, agar peserta didik tidak membawa masalah tersebut ke sekolah.
Diperlukan
tanggungjawab yang besar di dalam mendidik, karena tugas tersebut tidak semua
orang dapat melakukannya (Yak. 3:1). Informasi
yang diperoleh akan diproses ke dalam otak dan akan disimpan di dalam memori
jangka pendek dan jangka panjang. Informasi yang benar belum tentu dipahami
peserta didik dengan benar dan tepat, oleh karena itu diperlukan pengulangan
kembali apa yang telah disampaikan sehingga memahami informasi dengan utuh.
Komunikasi satu
arah hendaknya dihentikan, karena kurang efektif. Guru perlu memahami bahwa peserta didik adalah
makluk yang memerlukan pendidikan sebagai modal belajar. Manusia adalah makhluk
yang utuh, meskipun pada dasarnya manusia itu tidak dapat dipahami. Matius 5:2,
Yesus berbicara dan mengajar mereka, dalam hal ini terlihat bahwa Yesus
berbicara dan mengajar mereka, ada proses komunikasi dua arah yang Yesus
lakukan. Serta tidak menutup kemungkinan bahwa adanya perbincangan yang hangat
untuk menyelesaikan masalah tertentu.
Yesus dalam
pelayananya tidak pernah melakukan tindakan otoriter terhadap siapapun,
melainkan berotoritas dan ketegasan-Nya sangatlah penting dalam menyelesaikan
masalah (Luk. 4:32, 36).
D. Teori Belajar Gestalt
Pengalaman tilikan (insight); bahwa tilikan memegang peranan yang
penting dalam perilaku. Dalam proses pembelajaran, hendaknya peserta didik
memiliki kemampuan tilikan yaitu kemampuan mengenal keterkaitan unsur-unsur
dalam suatu obyek atau peristiwa.
Pembelajaran yang bermakna (meaningful learning);
kebermaknaan unsur-unsur yang terkait akan menunjang pembentukan tilikan dalam
proses pembelajaran. Makin jelas makna hubungan suatu unsur akan makin efektif
sesuatu yang dipelajari. Hal ini sangat penting dalam kegiatan pemecahan
masalah, khususnya dalam identifikasi masalah dan pengembangan alternatif
pemecahannya. Hal-hal yang dipelajari peserta didik hendaknya memiliki makna
yang jelas dan logis dengan proses kehidupannya.
Perilaku bertujuan (pusposive behavior); bahwa perilaku terarah pada
tujuan. Perilaku bukan hanya terjadi akibat hubungan stimulus-respons, tetapi
ada keterkaitannya dengan dengan tujuan yang ingin dicapai. Proses pembelajaran
akan berjalan efektif jika peserta didik mengenal tujuan yang ingin dicapainya.
Oleh karena itu, guru hendaknya menyadari tujuan sebagai arah aktivitas
pengajaran dan membantu peserta didik dalam memahami tujuannya.
Prinsip ruang hidup (life space); bahwa perilaku individu memiliki
keterkaitan dengan lingkungan dimana ia berada. Oleh karena itu, materi yang
diajarkan hendaknya memiliki keterkaitan dengan situasi dan kondisi lingkungan
kehidupan peserta didik.

Menurut Kacamata Alkitab
Penulis sangat
setuju dengan pembelajaran yang bermakna, alasanya adalah:
1.
Pembelajaran bermakna
mendatangkan kebaikan kepada peserta didik, contohnya apabila guru menjelaskan
mengenai kasih kepada peserta didik, dapat dilihat dari kehidupan sehari-hari
antara guru dan murid. Dan dalam Alkitab diceritakan bahwa kasih Allah terhadap
manusia adalah dengan rela mati di atas kayu salib untuk menyelamatkan manusia
dari dosa (Mat. 18:11; Luk. 19:10; Yoh. 3:16; Tit. 2:11).
2.
Pembelajaran
bermakna mendatangkan kemerdekaan, contohnya dosa manusia telah ditebus Yesus
dengan kematiannya, sehingga manusia dimerdekakan dari dosa (Rm. 6:18, 22; Rm.
8:21).
3.
Pembelajaran bermakna
menjadikan peserta didik murid Kristus (Mat. 28:18-20).
Tujuan dari
pendidikan adalah perubahan perilaku. Yang dimaksud adalah perilaku yang buruk
menjadi lebih baik dan memiliki etika dalam bergaul, mengekspresikan diri, bertanggungjawab
penuh terhadap tugas-tugasnya. Pentingnya tujuan dan sasaran yang telah dibuat
oleh guru dapat ditangkap dan dilakukan peserta didik dalam pergaulannya
sehari-hari. Yesus dan para murid-Nya selalu diajarkan untuk melakukan kasih,
kebaikan, memaafkan dan pada akhirnya harus memuridkan (Im. 19:18; Mat. 5:43; 19:19;
22:39; Gal. 5:14; Mat. 28:18-20).
Keterkaitan antara
lingkungan intern dan ekstern sangat berpengaruh terhadap pola belajar. Lingkungan
yang baik akan menghasilkan hal-hal yang minimal baik untuk pribadi seseorang. Dan
hal ini pun harus di evaluasi secara berkala, pengaruh apa saja yang ditingkatkan
dan diperbaiki.
Teori yang dapat penulis terapkan dalam pembelajaran dan
profesi guru Pendidikan Agama Kristen (PAK)
Dari penjelasan
teori tersebut penulis dapat menerapkan teori pembelajaran dari behavioristik dalam
hal bimbingan secara berkelanjutan, agar supaya terjadi kesamaan antara
penyampaian dan penerimaan. Apabila hal tersebut seimbang, maka akan terjadi
hubungan yang koheren antara pendidik dan peserta didik.
Teori belajar
kognitif memberikan pemahaman yang baik dalam belajar, agar belajar dapat
diingat dengan baik dan benar sesuai dengan kaidah berpikir manusia. Manusia harus
memiliki keseimbangan antara berpikir, memeroses sesuatu dan menyaringnya
dengan kebenaran firman Tuhan. Alkitab menjadi tolak ukur di dalam melakukan
sesuatu. Manusia memiliki kecenderungan untuk melakukan kesalahan dalam
hidupnya, namun kesalahan tersebut tidak perlu dilakukan berulang-ulang (Rm.
12:2; 1 Kor. 6:11).
Sedangkan teori
pemrosesan informasi sangatlah penting di dalam pembelajaran, sebab di dalam
pembelajaran informasi harus diproses terlebih dahulu secara selektif, ada yang
harus dibuang, dipertahankan dan dikembangkan dalam setiap aspeknya (Mat. 25:30).
Pada teori
belajar yang terakhir, yaitu teori Gestalt, pengalaman dalam belajar akan
mengubah cara berpikir peserta didik kepada yang positif dan konstruktif. Penulis
melihat hal tersebut sangat berkaitan erat dengan perubahan tingkah laku
peserta didik.
Tuhan Yesus memberkati
Komentar