NELSON HASIBUAN 27: JAWABAN UTS TEORI-TEORI BELAJAR DALAM PAK

UJIAN TENGAH SEMESTER (UTS)
TEORI-TEORI BELAJAR DALAM PENDIDIKAN AGAMA KRISTEN (PAK)

Jawablah pertanyaan berikut dengan pemahaman Saudara secara komprehensif, mendalam, sistematis, kritis dan terukur!

1.      Jika menelaah literatur psikologi, kita akan menemukan sejumlah teori belajar yang bersumber dari aliran aliran psikologi. Di bawah ini akan dikemukakan empat jenis teori belajar, yaitu: (A) teori belajar behaviorisme, (B) teori belajar kognitif Piaget, (C) teori belajar pemrosesan informasi, dan (D) teori belajar Gestalt. Dari keempat teori belajar ini, Saudara harus menjelaskan dan menganalisis beberapa hal:
a)      Terlebih dahulu jelaskan keempat teori belajar tersebut menurut bahasa Saudara, bukan bahasa diktat. Cantumkan tokoh-tokoh yang berperan penting dalam teori tersebut.
b)      Dari keempat teori belajar tersebut, kritisi teori mana yang menurut Saudara tidak setuju atau setuju menurut kacamata Alkitab! Sertakan ayat-ayat Alkitab untuk  mendukung komentar Saudara.
c)      Pada akhirnya  dari keempat teori tersebut, teori manakah yang dapat Saudara terapkan dalam pembelajaran PAK dalam profesi guru Pendidikan Agama Kristen (PAK).

JAWABAN
A.    Teori belajar behavioristik adalah sebuah teori yang dicetuskan oleh Gagne dan Berliner tentang perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman. Teori ini lalu berkembang menjadi aliran psikologi belajar yang berpengaruh terhadap arah pengembangan teori dan praktek pendidikan dan pembelajaran yang dikenal sebagai aliran behavioristik. Aliran ini menekankan pada terbentuknya perilaku yang tampak sebagai hasil belajar. Teori behavioristik dengan model hubungan stimulus-responnya, mendudukkan orang yang belajar sebagai individu yang pasif. Respon atau perilaku tertentu dengan menggunakan metode pelatihan atau pembiasaan semata. Munculnya perilaku akan semakin kuat bila diberikan penguatan dan akan menghilang bila dikenai hukuman.
Tokoh-tokoh aliran behavioristik di antaranya adalah Edward Lee Thorndike, Ivan Petrovich Pavlov, B. F. Skinner.
 Connectionism (Stimulus-Response) menurut Edward Lee Thorndike (1874-1949). Eksperimen Thorndike ini menggunakan hewan-hewan terutama kucing untuk mengetahui fenomena belajar. Dari eksperimen kucing lapar yang dimasukkan dalam sangkar (puzzle box) diketahui bahwa supaya tercapai hubungan antara stimulus dan respons, perlu adanya kemampuan untuk memilih respons yang tepat serta melalui usaha-usaha atau percobaan-percobaan (trials) dan kegagalan-kegagalan (error) terlebih dahulu. Oleh karena itu, teori belajar yang dikemukakan oleh Thorndike ini sering disebut dengan teori belajar koneksionisme atau teori asosiasi
Percobaan Thorndike yang terkenal dengan binatang coba kucing yang telah dilaparkan dan diletakkan di dalam sangkar yang tertutup dan pintunya dapat dibuka secara otomatis apabila kenop yang terletak di dalam sangkar tersebut tersentuh. Percobaan tersebut menghasilkan teori “trial and error” atau “selecting and conecting”, yaitu bahwa belajar itu terjadi dengan cara mencoba-coba dan membuat salah. Dalam melaksanakan coba-coba ini, kucing tersebut cenderung untuk meninggalkan perbuatan-perbuatan yang tidak mempunyai hasil.
Dalam percobaan tersebut apabila di luar sangkar diletakkan makanan, maka kucing berusaha untuk mencapainya dengan cara meloncat-loncat kian kemari. Dengan tidak tersengaja kucing telah menyentuh kenop, maka terbukalah pintu sangkar tersebut, dan kucing segera lari ke tempat makan. Percobaan ini diulangi untuk beberapa kali, dan setelah kurang lebih 10 sampai dengan 12 kali, kucing baru dapat dengan sengaja menyentuh kenop tersebut apabila di luar diletakkan makanan.
Belajar merupakan akibat adanya interaksi antara stimulus dan respon. Seseorang dianggap telah belajar sesuatu jika dia dapat menunjukkan perubahan perilakunya. Menurut teori ini dalam belajar yang penting adalah input yang berupa stimulus dan output yang berupa respon. Stimulus adalah apa saja yang diberikan guru kepada pebelajar, sedangkan respon berupa reaksi atau tanggapan pebelajar terhadap stimulus yang diberikan oleh guru tersebut. Proses yang terjadi antara stimulus dan respon tidak penting untuk diperhatikan karena tidak dapat diamati dan tidak dapat diukur. Yang dapat diamati adalah stimulus dan respon, oleh karena itu apa yang diberikan oleh guru (stimulus) dan apa yang diterima oleh pebelajar (respon) harus dapat diamati dan diukur. Teori ini mengutamakan pengukuran, sebab pengukuran merupakan suatu hal penting untuk melihat terjadi atau tidaknya perubahan tingkah laku tersebut.
Faktor lain yang dianggap penting oleh aliran behavioristik adalah faktor penguatan (reinforcement). Bila penguatan ditambahkan (positive reinforcement) maka respon akan semakin kuat. Begitu pula bila respon dikurangi/dihilangkan (negative reinforcement) maka respon juga semakin kuat.
Kita ambil contoh, suatu saat seorang peserta didik mau belajar giat setelah diberi stimulus tertentu. Tetapi karena satu dan lain hal, peserta didik tersebut tiba-tiba tidak mau belajar lagi, padahal kepadanya sudah diberikan stimulus yang sama atau yang lebih baik dari itu. Disinilah persoalannya. Ternyata teori tingkah laku ini dianggap tidak mampu menjelaskan alasan-alasan yang mengacaukan hubungan antara stimulus dan respon tersebut.
Classical Conditioning (pengkondisian klasik) menurut Ivan Petrovich Pavlov (1849-1936). Ia menemukan bahwa ia dapat menggunakan stimulus netral, seperti sebuah nada atau sinar untuk membentuk perilaku (respons). Hal ini sesuai dengan pendapat Bakker bahwa yang paling sentral dalam hidup manusia bukan hanya pikiran, peranan maupun bicara, melainkan tingkah lakunya. Pikiran mengenai tugas atau rencana baru akan mendapatkan arti yang benar jika ia berbuat sesuatu. Bertitik tolak dari asumsinya bahwa dengan menggunakan rangsangan-rangsangan tertentu, perilaku manusia dapat berubah sesuai dengan apa yang di inginkan. Kemudian Pavlov mengadakan eksperimen dengan menggunakan binatang (anjing) karena ia menganggap binatang memiliki kesamaan dengan manusia. Namun demikian, dengan segala kelebihannya, secara hakiki manusia berbeda dengan binatang.
Operant Conditioning menurut B. F. Skinner (March 20, 1904-August 18, 1990). Skinner tidak sependapat dengan pandangan S-R dan penjelasan reflex bersyarat dimana stimulus terus memiliki sifat-sifat kekuatan yang tidak mengendur. Menurut Skinner penjelasan S-R tentang terjadinya perubahan tingkah laku tidak lengkap untuk menjelaskan bagaimana organisme berinteraksi dengan lingkungannya. Bukan begitu, banyak tingkah laku menghasilkan perubahan atau konsekuensi pada lingkungan yang mempunyai pengaruh terhadap organisme dan dengan begitu mengubah kemungkinan organisme itu merespon nanti.
Menurut Skinner unsur yang terpenting dalam belajar adalah adanya penguatan (reinforcement  ) dan hukuman (punishment). Penguatan (reinforcement) adalah konsekuensi yang meningkatkan probabilitas bahwa suatu perilaku akan terjadi. Sebaliknya, hukuman (punishment) adalah konsekuensi yang menurunkan probabilitas terjadinya suatu perilaku. 

Menurut Kacamata Alkitab
            Alkitab menjelaskan bahwa asal mula manusia adalah dari debu tanah dan Allah menghembuskan nafas hidup (Kej. 2:7). Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita (Kej. 1:26). Manusia tidak bisa disamakan seperti hewan (kucing, anjing, tikus) dalam hal belajar, karena manusia adalah makhluk paling mulia dari ciptaan yang lain serta paling kompleks. Gambar dan rupa Allah merupakan sesuatu yang khusus dan beda dari ciptaan yang lainnya dan manusia diberikan kuasa untuk memelihara, melindungi, merawat taman di Eden beserta segala isinya yang dipercayakan Tuhan kepada mereka.
Di dalam belajar manusia adalah makhluk yang aktif, contohnya di dalam kelas peserta didik yang hanya diam saja, hanya memerhatikan guru menjelaskan materi pembelajaran namun pikirannya pasti berjalan dan memikirkan hal-hal yang dilihat, didengar, dan dirasakannya meskipun tidak diutarakan/diekspresikan. Penting sekali guru memberikan penguatan kepada peserta didiknya, apabila hal tersebut terjadi secara terus-menerus, maka peserta didik tidak akan memiliki semangat di dalam belajar yang berasal dari dalam dirinya sendiri. Firman Tuhan dalam Amsal 17:22 menjelaskan, bahwa “Hati yang gembira adalah obat yang manjur, tetapi semangat yang patah mengeringkan tulang.” Pula dalam Amsal 18:14 dijelaskan, bahwa “Orang yang bersemangat dapat menanggung penderitaannya, tetapi siapa akan memulihkan semangat yang patah?”
Belajar itu terjadi dengan cara mencoba-coba dan membuat salah.  Sekilas dari kalimat tersebut kelihatan “benar”, namun apabila ditelisik lebih dalam lagi didapatkan beberapa hal, bahwa: pertama, proses belajar adalah bukan karena coba-coba dan membuat salah, melainkan sesuatu yang harus dijalani oleh pebelajar dan pembelajar. Memang di dalam pembelajaran ada hal-hal yang membuat pebelajar merasa bosan, gelisah, kurang konsentrasi dan sebagainya. Hal ini dapat diatasi apabila pebelajar dan pembelajar memiliki keterkaitan dan ketertarikan dalam menyajikan materi di dalam kelas. Kedua, didalam belajar mencoba-coba bukan merupakan sesuatu yang setiap hari dilakukan, namun belajar adalah sesuatu yang pasti.  Dalam hal pembelajaran Pendidikan Agama Kristen (PAK), bahwa Yesus adalah Tuhan dan Juruselamat manusia (1 Yoh. 4:14; Yud. 1:25) adalah benar dan tidak perlu dicoba-coba. Ketiga, dalam proses pembelajaran memang ada salah, namun pemahaman penulis mengenai salah adalah kealfaan pembelajar di dalam melakukan tindakan baik itu terjadi dalam maupun di luar kelas, contohnya: terlambat memasuki kelas, tidak mengerjakan tugas, berkata-kata kurang sopan dan sebagainya. Hal tersebut dapat diatasi dengan melakukan tindakan yang preventif (pencegahan) sebelum terjadi.
Seseorang dianggap telah belajar sesuatu jika dia dapat menunjukkan perubahan perilakunya. Menurut teori ini dalam belajar yang penting adalah input yang berupa stimulus dan output yang berupa respon. Pada kalimat di atas ada benarnya, sebab apabila pebelajar mendapatkan sesuatu yang bermanfaat untuk hidupnya, maka akan ada perubahan atau kemerdekaan (2 Kor. 3:17). Proses perubahan perilaku tidak segampang membalikkan telapak tangan, sebab pada dasarnya manusia telah jatuh ke dalam dosa dan telah kehilangan kemuliaan Allah (Rm. 3:23; 1 Tim. 2:14). Perubahan tersebut harus aktif dan kontinue (berkelanjutan) dalam kehidupan pebelajar, karena dari perubahan tersebut akan terbiasa untuk hidup benar di mata Tuhan (Ul. 6:18; 12:25; 1 Raj. 15:5, 11; 2 Raj. 12:2; Ams. 22: 6; 29:17; Ef. 6:4).
Tidak selamanya seorang guru harus memberikan penguatan (semangat) terhadap peserta didik, karena banyaknya tugas pendidik dalam menjalani aktivitasnya sehari-hari. Mungkin dapat saja diberikan kepada sebagian peserta didik, namun hal tersebut sangat menyita waktunya. Peserta didik harus belajar mandiri, dapat diandalkan, memiliki pemikiran dan konsep yang benar mengenai belajar. Penguatan dapat memberikan semangat di dalam belajar, namun sampai kapan penguatan harus diberikan? Hal ini hendaknya diperhatikan oleh guru agar tidak terkuras waktu untuk menyampaikan materi pembelajaran.

B.     Teori Belajar Kognitif Jean Piaget (Swiss, 9 Agustus 1896-meninggal 16 September 1980 pada umur 84 tahun).
Menurut Piaget, perkembangan kognitif mempunyai empat aspek, yaitu:
1)      kematangan, sebagai hasil perkembangan susunan syaraf;
2)      pengalaman, yaitu hubungan timbal balik antara orgnisme dengan dunianya;
3)      interaksi sosial, yaitu pengaruh-pengaruh yang diperoleh dalam hubungannya dengan lingkungan sosial, dan
4)      ekullibrasi, yaitu adanya kemampuan atau sistem mengatur dalam diri organisme agar dia selalu mempau mempertahankan keseimbangan dan penyesuaian diri terhadap lingkungannya.

Menurut Piaget bahwa perkembangan kognitif individu meliputi empat tahap yaitu:
a)      Periode sensori-motor (0 – 2,0 tahun)
Pada periode ini tingkah laku anak bersifat motorik dan anak menggunakan system penginderaan untuk mengenal lingkungannya untu mengenal obyek.
b)      Periode pra-operasional (2,0 – 7,0 tahun)
Pada periode ini anak bisa melakukan sesuatu sebagai hasil meniru atau mengamati sesuatu model tingkah laku dan mampu melakukan simbolisasi.
c)      Periode operasional konkret (7,0 – 11,0 tahun)
Pada periode ini anak sudah mampu menggunakan operasi. Pemikiran anak tidak lagi didominasi oleh persepsi, sebab anak mampu memecahkan masalah secara logis.
d)     Periode operasional formal (11,0 – dewasa)
Periode operasi fomal merupakan tingkat puncak perkembangan struktur kognitif, anak remaja mampu berpikir logis untuk semua jenis masalah hipotesis, masalah verbal, dan ia dapat menggunakan penalaran ilmiah dan dapat menerima pandangan orang lain.

Belajar akan lebih berhasil apabila disesuaikan dengan tahap perkembangan kognitif peserta didik. Peserta didik hendaknya diberi kesempatan untuk melakukan eksperimen dengan obyek fisik, yang ditunjang oleh interaksi dengan teman sebaya dan dibantu oleh pertanyaan tilikan dari guru. Guru hendaknya banyak memberikan rangsangan kepada peserta didik agar mau berinteraksi dengan lingkungan secara aktif, mencari dan menemukan berbagai hal dari lingkungan.

Menurut Kacamata Alkitab
Dalam pembelajaran penting sekali melihat perkembangan peserta didik. Perkembangan tersebut meliputi; tingkat berpikir, usia, cara pandang, etika. Alkitab sangat jelas sekali menjelaskan mengenai perkembangan anak, bahwa sebagai orangtua harus mendidik anak-anaknya. Amsal 22:6 bahwa “didiklah orang muda menurut jalan yang patut baginya, maka pada masa tuanyapun ia tidak akan menyimpang dari pada jalan itu.”
Interaksi dengan teman sebaya (peer group) sangat berperan penting di dalam perkembangan peserta didik, misalkan di usia remaja (13-17 tahun) mereka akan suka berkumpul bersama-sama, membahas hal-hal yang sama, lebih mementingkan kebersamaan. Disamping itu pula ada banyak hal-hal yang terlihat jelas di usia remaja adanya pemberontakan terhadap orangtua, karena mengekang dan kegiatan-kegitan yang biasa mereka lakukan. Efesus 6:4 “Dan kamu, bapa-bapa, janganlah bangkitkan amarah di dalam hati anak-anakmu, tetapi didiklah mereka di dalam ajaran dan nasihat Tuhan.” Ayat tersebut menjelaskan peran ayah di dalam mendidik anak-anaknya, agar supaya tidak mempermalukan keluarga dikemudian hati, penting sekali di simak bahwa harus didik dalam ajaran dan nasihat Tuhan.
Peran guru sebagai penolong tidak harus selalu terjadi, karena pesertadidik membutuhkan kedewasaan di dalam menjalankan perannya sebagai peserta didik. Apabila berlangsung terus menerus akan mengakibatkan kekerdilan dalam melakukan sesuatu. Pengaruh dari teman sebaya sangat berpengaruh terhadap perkembangan mereka. Apabila pengaruhnya baik maka akan baik, demikian sebaliknya (1 Kor. 15:33). Alkitab menceritakan mengenai raja Rehabeam yang mendengarkan nasihat dari teman sebayanya dalam memimpin 10 suku Israel. Di dalam 1 Raja-raja 12:8 “Tetapi ia mengabaikan nasihatyang diberikan para tua-tua itu, lalu ia meminta nasihat kepada orang-orang muda yang sebaya dengan dia dan yang mendampinginya.” Sikap sombong dan tidak menghargai penasihat ditunjukkan oleh Rehabeam demi ambisinya di dalam menjalankan tugasnya sebagai raja.
Setiap kali Yesus ditemukan sedang mengajar banyak orang (Mat. 9:35; 13:54; Luk. 13:10, 22; 20:1), pengajaran Yesus berbeda dengan orang-orang Farisi dan Saduki, karena ada kuasa di dalam-Nya (Luk. 4:32). Yesus selalu mengajarkan hal-hal yang berbeda dalam setiap pertemuannya, mengajarkan kasih, kesembuhan, kemunafikan orang-orang Saduki dan Farisi, menghargai, tanggungjawab dan sebagainya. Hal tersebut diajarkan kepada murid-murid agar supaya memahami isi dari Injil seutuhnya. Pada akhirnya dalam mengambil keputusan diperlukan pertolongan Roh Kudus, dalam menjalankan seluruh proses kehidupan.

C.    Teori Belajar Pemrosesan Informasi dari Robert Gagne (Augustus 21, 1916 – April 28, 2002)
Pembelajaran merupakan faktor yang sangat penting dalam perkembangan. Perkembangan merupakan hasil kumulatif dari pembelajaran. Dalam pembelajaran terjadi proses penerimaan informasi, untuk kemudian diolah sehingga menghasilkan keluaran dalam bentuk hasil belajar. Dalam pemrosesan informasi terjadi adanya interaksi antara kondisi-kondisi internal dan kondisi-kondisi eksternal individu. Kondisi internal yaitu keadaan dalam diri individu yang diperlukan untuk mencapai hasil belajar dan proses kognitif yang terjadi dalam individu. Sedangkan kondisi eksternal adalah rangsangan dari lingkungan yang mempengaruhi individu dalam proses pembelajaran.
Model proses belajar yang dikembangkan oleh Gagne didasarkan pada teori pemrosesan informasi, yaitu sebagai berikut:
Rangsangan yang diterima panca indera akan disalurkan ke pusat syaraf dan diproses sebagai informasi. Informasi dipilih secara selektif, ada yang dibuang, ada yang disimpan dalam memori jangka pendek, dan ada yang disimpan dalam memori jangka panjang. Memori-memori ini tercampur dengan memori yang telah ada sebelumnya, dan dapat diungkap kembali setelah dilakukan pengolahan.
Menurut Gagne tahapan proses pembelajaran meliputi delapan fase yaitu:
a)      motivasi; siswa yang belajar harus diberi motivasi untuk memanggil informasi yang telah dipelajari sebelumnya.
b)      pemahaman; siswa harus memberikan perhatian pada bagian-bagian yang esensial dari suatu kejadian instruksional, jika belajar akan terjadi.
c)      pemerolehan; apabila siswa memperhatikan informasi yang relevan, maka ia telah siap untuk menerima pelajaran.
d)     penyimpanan; informasi baru yang diperoleh harus dipindahkan dari memori jangka pendek ke memori jangka panjang. Ini dapat terjadi melalui penggulangan kembali.
e)      ingatan kembali; pemanggilan dapat ditolong dengan memperhatikan kaitan-kaitan antara konsep khususnya antara pengetahuan baru dengan pengetahuan sebelumnya.
f)       generalisasi; biasanya informasi itu kurang nilainya, jika tidak dapat diterapkan diluar konteks di mana informasi itu dipelajari.
g)      perlakuan; tingkah laku yang dapat diamati. Belajar terjadi apabila stimulus mempengaruhi individu sedemikan rupa sehingga performancenya berubah dari situasi sebelum belajar kepada situasi sesudah belajar.
h)      umpan balik; para siswa harus memperoleh umpan balik tentang penampilan mereka yang menunjukkan apakah mereka telah atau belum mengerti tentang apa yang diajarkan.

Penerapan teori yang salah dalam situasi pembelajaran mengakibatkan terjadinya proses pembelajaran yang sangat tidak menyenangkan bagi siswa yaitu guru sebagai sentral bersikap otoriter, komunikasi berlangsung dalam satu arah, guru melatih dan menentukan apa yang harus dipelajari murid. Penggunaan hukuman yang sangat dihindari para tokoh behavioristik dianggap metode paling efektif untuk menertibkan siswa.

Menurut Kacamata Alkitab
Dari teori di atas, penulis memahami bahwa pengaruh dari luar dan dalam sangat mempengaruhi proses belajar. Peserta didik yang mengalami gangguan dan hambatan dari dalam dirinya ataupun keluarganya cenderung akan kurang respon, tidak suka, gelisah dalam belajar. Sebagai contoh, apabila dimarahi dari rumah, maka akan terus berlanjut sampai ke sekolah dan berdampak terhadap teman-temannya. Hal ini harus diantisipasi dengen menyelesaikan masalah tersebut di rumah terlebih dahulu, agar peserta didik tidak membawa masalah tersebut ke sekolah.
Diperlukan tanggungjawab yang besar di dalam mendidik, karena tugas tersebut tidak semua orang dapat melakukannya (Yak. 3:1).  Informasi yang diperoleh akan diproses ke dalam otak dan akan disimpan di dalam memori jangka pendek dan jangka panjang. Informasi yang benar belum tentu dipahami peserta didik dengan benar dan tepat, oleh karena itu diperlukan pengulangan kembali apa yang telah disampaikan sehingga memahami informasi dengan utuh.
Komunikasi satu arah hendaknya dihentikan, karena kurang efektif.  Guru perlu memahami bahwa peserta didik adalah makluk yang memerlukan pendidikan sebagai modal belajar. Manusia adalah makhluk yang utuh, meskipun pada dasarnya manusia itu tidak dapat dipahami. Matius 5:2, Yesus berbicara dan mengajar mereka, dalam hal ini terlihat bahwa Yesus berbicara dan mengajar mereka, ada proses komunikasi dua arah yang Yesus lakukan. Serta tidak menutup kemungkinan bahwa adanya perbincangan yang hangat untuk menyelesaikan masalah tertentu.
Yesus dalam pelayananya tidak pernah melakukan tindakan otoriter terhadap siapapun, melainkan berotoritas dan ketegasan-Nya sangatlah penting dalam menyelesaikan masalah (Luk. 4:32, 36).

D.    Teori Belajar Gestalt
Pengalaman tilikan (insight); bahwa tilikan memegang peranan yang penting dalam perilaku. Dalam proses pembelajaran, hendaknya peserta didik memiliki kemampuan tilikan yaitu kemampuan mengenal keterkaitan unsur-unsur dalam suatu obyek atau peristiwa.
Pembelajaran yang bermakna (meaningful learning); kebermaknaan unsur-unsur yang terkait akan menunjang pembentukan tilikan dalam proses pembelajaran. Makin jelas makna hubungan suatu unsur akan makin efektif sesuatu yang dipelajari. Hal ini sangat penting dalam kegiatan pemecahan masalah, khususnya dalam identifikasi masalah dan pengembangan alternatif pemecahannya. Hal-hal yang dipelajari peserta didik hendaknya memiliki makna yang jelas dan logis dengan proses kehidupannya.
Perilaku bertujuan (pusposive behavior); bahwa perilaku terarah pada tujuan. Perilaku bukan hanya terjadi akibat hubungan stimulus-respons, tetapi ada keterkaitannya dengan dengan tujuan yang ingin dicapai. Proses pembelajaran akan berjalan efektif jika peserta didik mengenal tujuan yang ingin dicapainya. Oleh karena itu, guru hendaknya menyadari tujuan sebagai arah aktivitas pengajaran dan membantu peserta didik dalam memahami tujuannya.
Prinsip ruang hidup (life space); bahwa perilaku individu memiliki keterkaitan dengan lingkungan dimana ia berada. Oleh karena itu, materi yang diajarkan hendaknya memiliki keterkaitan dengan situasi dan kondisi lingkungan kehidupan peserta didik.
Transfer dalam belajar; yaitu pemindahan pola-pola perilaku dalam situasi pembelajaran tertentu ke situasi lain. Menurut pandangan Gestalt, transfer belajar terjadi dengan jalan melepaskan pengertian obyek dari suatu konfigurasi dalam situasi tertentu untuk kemudian menempatkan dalam situasi konfigurasi lain dalam tata-susunan yang tepat. Judd menekankan pentingnya penangkapan prinsip-prinsip pokok yang luas dalam pembelajaran dan kemudian menyusun ketentuan-ketentuan umum (generalisasi). Transfer belajar akan terjadi apabila peserta didik telah menangkap prinsip-prinsip pokok dari suatu persoalan dan menemukan generalisasi untuk kemudian digunakan dalam memecahkan masalah dalam situasi lain. Oleh karena itu, guru hendaknya dapat membantu peserta didik untuk menguasai prinsip-prinsip pokok dari materi yang diajarkannya.
                                                                                                   
Menurut Kacamata Alkitab
Penulis sangat setuju dengan pembelajaran yang bermakna, alasanya adalah:
1.      Pembelajaran bermakna mendatangkan kebaikan kepada peserta didik, contohnya apabila guru menjelaskan mengenai kasih kepada peserta didik, dapat dilihat dari kehidupan sehari-hari antara guru dan murid. Dan dalam Alkitab diceritakan bahwa kasih Allah terhadap manusia adalah dengan rela mati di atas kayu salib untuk menyelamatkan manusia dari dosa (Mat. 18:11; Luk. 19:10; Yoh. 3:16; Tit. 2:11).
2.      Pembelajaran bermakna mendatangkan kemerdekaan, contohnya dosa manusia telah ditebus Yesus dengan kematiannya, sehingga manusia dimerdekakan dari dosa (Rm. 6:18, 22; Rm. 8:21).
3.      Pembelajaran bermakna menjadikan peserta didik murid Kristus (Mat. 28:18-20).

Tujuan dari pendidikan adalah perubahan perilaku. Yang dimaksud adalah perilaku yang buruk menjadi lebih baik dan memiliki etika dalam bergaul, mengekspresikan diri, bertanggungjawab penuh terhadap tugas-tugasnya. Pentingnya tujuan dan sasaran yang telah dibuat oleh guru dapat ditangkap dan dilakukan peserta didik dalam pergaulannya sehari-hari. Yesus dan para murid-Nya selalu diajarkan untuk melakukan kasih, kebaikan, memaafkan dan pada akhirnya harus memuridkan (Im. 19:18; Mat. 5:43; 19:19; 22:39; Gal. 5:14; Mat. 28:18-20).
Keterkaitan antara lingkungan intern dan ekstern sangat berpengaruh terhadap pola belajar. Lingkungan yang baik akan menghasilkan hal-hal yang minimal baik untuk pribadi seseorang. Dan hal ini pun harus di evaluasi secara berkala, pengaruh apa saja yang ditingkatkan dan diperbaiki.

Teori yang dapat penulis terapkan dalam pembelajaran dan
profesi guru Pendidikan Agama Kristen (PAK)

Dari penjelasan teori tersebut penulis dapat menerapkan teori pembelajaran dari behavioristik dalam hal bimbingan secara berkelanjutan, agar supaya terjadi kesamaan antara penyampaian dan penerimaan. Apabila hal tersebut seimbang, maka akan terjadi hubungan yang koheren antara pendidik dan peserta didik.
Teori belajar kognitif memberikan pemahaman yang baik dalam belajar, agar belajar dapat diingat dengan baik dan benar sesuai dengan kaidah berpikir manusia. Manusia harus memiliki keseimbangan antara berpikir, memeroses sesuatu dan menyaringnya dengan kebenaran firman Tuhan. Alkitab menjadi tolak ukur di dalam melakukan sesuatu. Manusia memiliki kecenderungan untuk melakukan kesalahan dalam hidupnya, namun kesalahan tersebut tidak perlu dilakukan berulang-ulang (Rm. 12:2; 1 Kor. 6:11).
Sedangkan teori pemrosesan informasi sangatlah penting di dalam pembelajaran, sebab di dalam pembelajaran informasi harus diproses terlebih dahulu secara selektif, ada yang harus dibuang, dipertahankan dan dikembangkan dalam setiap aspeknya (Mat. 25:30).
Pada teori belajar yang terakhir, yaitu teori Gestalt, pengalaman dalam belajar akan mengubah cara berpikir peserta didik kepada yang positif dan konstruktif. Penulis melihat hal tersebut sangat berkaitan erat dengan perubahan tingkah laku peserta didik.


Tuhan Yesus memberkati

Komentar