NELSON HASIBUAN 27: MEMBUAT ANALISIS DIKTAT/BAHAN AJAR/BUKU

BAB I
SEJARAH FILSAFAT DAN HUBUNGANNYA DENGAN FILSAFAT KRISTEN
(Halaman 7-20)

ISI
Kata filsafat berasal dari istilah Yunani philos dan sophia, yang berarti “cinta akan hikmat” atau “cinta akan pengetahuan” atau “cinta kebijaksanaan”. Jadi, seorang “filsuf” adalah seorang pecinta, pencari hikmat, kebijaksanaan, atau pengetahuan.
Pada halaman 8 paragraf pertama dijelaskan bahwa, “Ada tiga hal yang mendorong manusia untuk berfilsafat. Pertama: keheranan (rasa heran: tahumasia (Yun.)). Kedua: kesangsian. Ketiga: kesadaran akan keterbatasan. “ Penulis berpendapat bahwa apabila manusia mengalami keheranan dalam melihat sesuatu dan ingin mengetahui mengapa hal ini dan itu dapat terjadi, hal tersebut mengindikasikan adanya proses berpikir yang logis dan terukur. Namun dalam proses tersebut timbul kesangsian yang membuatnya semakin heran dan semakin meragukan apa yang sedang terjadi. Fiman Tuhan mengatakan bahwa karena semua orang telah berbuat dosa dan telah kehilangan kemuliaan Allah (Rm. 3:23; 6:23). Berangkat dari hal tersebut bahwa manusia memiliki keterbatasan dan ketidakmampuan untuk menjangkau hal yang luas dan diluar pemikirannya, sehingga manusia membutuhkan pertolongan Roh Kudus agar apa yang dilihat dan dirasakan dapat dipahami secara sadar serta mengajarkan apa yang tidak dapat kita pahami dengan akal dan pemikiran yang terbatas pula (Yoh. 14:26).
Pada halaman 14 paragraf pertama, dijelaskan bahwa, “S. Kierkegaard, F. Nietzsche, K. Jaspers, M. Heidegger dan J. P. Sartre berkeyakinan bahwa filsafat harus berpangkal pada adanya (eksistensi) manusia yang konkret, dan tidak pada hakikat (esensi) manusia pada umumnya. Dasar eksistensialisme adalah kebebasan manusia, kebebasan yang membuat hidupnya bertanggungjawab untuk membuat keputusan mengenai hidupnya sendiri.” Menurut penulis eksistensi manusia dalam menunjukkan ke “aku-annya” dan kesombongannya adalah hal yang kurang pantas untuk dikembangkan sebagai pengakuan yang konkret atas apa yang diraih dan digapainya. Pada dasarnya Allah membenci yang congkak dan sombong (1 Pet. 5:5; Yak. 4:6; Yes. 46:12). Manusia membutuhkan pribadi yang sanggup menolong dan memberikan kekuatan yang baru setiap hari untuk dipimpin kepada jalan yang benar dan sejati, yaitu Yesus Kristus (Mzm. 25:10; Ams. 15:9; Yoh. 14:6).
Pada halaman 15 paragraf terakhir mengenai hubungan filsafat dengan filsafat Kristen. Filsafat umum senantiasa bertujuan membentuk atau merumuskan world view (Perspektif keseluruhan dari mana orang melihat dan menafsirkan dunia) dan diikuti pada halaman 16 paragraf pertama sesuai dengan pemikiran George I. Mavrodes mendefinisikan filsafat Kristen yang “dilakukan” oleh Kristen, yaitu filsafat yang dipikirkan, diformulasikan, dan diekspresikan orang Kristen yang berusaha berpegang teguh pada iman mereka dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk aspek intelektual. Filsafat Kristen sendiri bertujuan, untuk melaksanakan komitmen rohani, yaitu menyembah, melayani, dan menikmati Tuhan yang menyatakan diri melalui inkarnasi Yesus Kristen, Sang Kebenaran Sejati (Carson dan Woodbridge (peny.), 2002:163). Dalam hal ini penulis sangat setuju dengan pernyataan di atas, karena filsafat Kristen harus berakar kepada firman Allah yang hidup yang diambil dari kebenaran Alkitab Perjanjian Lama (PL) dan Perjanjian Baru (PB) secara utuh sehingga dalam menjelaskannya didapatkan kebenaran secara komprehensif (II Tim. 3:16; Yoh. 6:68). Filsafat secara umum akan membawa manusia kepada hal-hal yang alami (empiris) dan yang tidak alami (non-empiris) yakni dunia pengertian, kepercayaan, sosial, karya, ekonomi, dan politik, semua termasuk di dalamnya (B. S. Sidjabat, 1996:4). Apabila hal tersebut diterapkan dalam kehidupan manusia, maka manusia akan menjadi tamak, menjadi hamba uang, menghalalkan segala cara untuk mencapai maksud dan tujuannya, dan pada akhirnya akan jatuh ke dalam dosa (I Tim. 6:10; II Tim.3:2; Ibr. 13:5). Pembaca jangan salah paham dalam hal ini penulis tidak mengesampingkan filsafat umum, akan tetapi apabila manusia berfilsafat harus bersedia menerima jawaban dari Allah sebagai wahyu tertinggi yang telah nyata memproklamirkan bahwa “Allahlah kebenaran itu” (Yoh. 14:6; Why. 21:6; 22:13).
Penulis sangat setuju dengan penjelasan pada halaman 17-18 bab terakhir bahwa “terkait dengan monisme dan pluralisme tentang kepastian, filsafat Kristen menjadi jawaban bagi sejarah epistemologi karena para filsuf dalam mencari kepastian tiak sepakat tentang kemungkinan dan sifat-sifat kepastian bagi suatu jenis pengetahuan tertentu. pengetahuan manusia, setidaknya dalam beberapa hal, bersifat dapat salah atau merupakan kemungkinan. Hanya Allah yang dapat mengetahui segala sesuatu secara pasti dan mutlak (Mzm. 139:1-6). Artinya, pengetahuan Allah sesuai dengan realitas (Kel. 34:6; Bil. 23:19; Ul. 32:4) (Norman L. Geisler dan Paul D. Feinberg, 2004:136-7).

TUJUAN UNTUK GURU PAK
Tujuan bab 1 ini menjelaskan bagaimana sejarah filsafat secara umum (filsafat India, Cina, Barat), hubungan filsafat dengan filsafat Kristen, peran penting filsafat Kristen agar pembaca memahaminya secara komprehensif sehingga dapat mengembangkan hal tersebut sesuai dengan bidang profesi guru, dosen, praktisi pendidikan dan sebagainya.  
Dalam melakukan pengembangan tersebut ke arah yang lebih mendalam diharapkan guru PAK dapat menjelaskan Alkitab sebagai kebenaran yang Sejati yang tidak dapat ditentang dan ditolak. Diharapkan pula guru PAK dapat mengubungkan filsafat umum dan Kristen dalam bidang pelayanannya sehingga dapat menangkal ajaran-ajaran yang sesat (Mat. 22:29; Yak. 1:16; 2 Pet. 2:1; Mzm. 119:105). Pada akhirnya filsafat Kristen dapat menjadi motivasi manusia untuk mengubah sistem konseptualnya, konseptuan yang humanis, naturalis, atau ateis diubah menjadi konseptual kristiani. Orang Kristen tidak lagi sekadar percaya tanpa sadar, tetapi memiliki dasar dan alsan percaya. Dasar dan alasan inilah yang akan mengatur mereka pada kesetiaan terhadap Tuhan Yesus.

MANFAAT UNTUK GURU PAK
Dalam mengemban tugasnya sebagai guru Pendidikan Agama Kristen (PAK) baik di sekolah, gereja dan masyarakat sebaiknya para guru PAK harus memahami sejarah filsafat dan hubungannya dengan filsafat Kristen, agar supaya tidak terjadi kesalahan di dalam mengejawantahkan pembelajaran di dalam kelas, sebab setiap guru memiliki dan memunyai filsafat masing-masing. Dan dari hal tersebut para guru juga berbeda dalam menerapkannya dalam setiap pembelajaran.
Teologi yang benar harus dibahas dan direnungkan secara komprehensif agar mendapatkan hasil yang maksimal dari apa yang dipelajari.  Teologi harus diakui sebagai pengetahuan adi kodrati yang metodis, sistematis, dan koheren, tentang hal yang diwahyukan Allah yang berefleksi kepada iman. Jadi, sangat mendasar dalam teologi adalah bahwa ia melibatkan wahyu Allah; Allah yang menyatakan diri dengan berbagai cara.

Guru PAK harus dapat mengimplementasikan wahyu Allah itu baik dari PL dan PB dalam setiap pembelajarannya. Juga filsafat Kristen dapat memperkaya pemikiran teologi dan upaya berteologi (worldviewish theology) kita sendiri. Karena kita hidup dalam konteks yang semakin mengacu kepada kemampuan intelektual dalam menjalani kehidupan sehari-hari.  Namun di tengah kemajuan itu, Allah tetap memanggil kita untuk memainkan peran sebagai “garam dan terang dunia’ (Mat. 5:13-16). 

Komentar