BAB
I
SEJARAH
FILSAFAT DAN HUBUNGANNYA DENGAN FILSAFAT KRISTEN
(Halaman
7-20)
ISI
Kata filsafat berasal dari istilah
Yunani philos dan sophia, yang berarti “cinta akan hikmat”
atau “cinta akan pengetahuan” atau “cinta kebijaksanaan”. Jadi, seorang “filsuf”
adalah seorang pecinta, pencari hikmat, kebijaksanaan, atau pengetahuan.
Pada
halaman 8 paragraf pertama dijelaskan bahwa, “Ada tiga hal
yang mendorong manusia untuk berfilsafat. Pertama:
keheranan (rasa heran: tahumasia (Yun.)). Kedua:
kesangsian. Ketiga: kesadaran akan
keterbatasan. “ Penulis berpendapat bahwa apabila manusia mengalami keheranan
dalam melihat sesuatu dan ingin mengetahui mengapa hal ini dan itu dapat
terjadi, hal tersebut mengindikasikan adanya proses berpikir yang logis dan
terukur. Namun dalam proses tersebut timbul kesangsian yang membuatnya semakin
heran dan semakin meragukan apa yang sedang terjadi. Fiman Tuhan mengatakan
bahwa karena semua orang telah berbuat dosa dan telah kehilangan kemuliaan Allah (Rm. 3:23; 6:23). Berangkat dari hal tersebut bahwa
manusia memiliki keterbatasan dan ketidakmampuan untuk menjangkau hal yang luas
dan diluar pemikirannya, sehingga manusia membutuhkan pertolongan Roh Kudus
agar apa yang dilihat dan dirasakan dapat dipahami secara sadar serta
mengajarkan apa yang tidak dapat kita pahami dengan akal dan pemikiran yang
terbatas pula (Yoh. 14:26).
Pada halaman 14 paragraf pertama, dijelaskan bahwa, “S. Kierkegaard, F. Nietzsche, K.
Jaspers, M. Heidegger dan J. P. Sartre berkeyakinan bahwa filsafat harus
berpangkal pada adanya (eksistensi) manusia yang konkret, dan tidak pada
hakikat (esensi) manusia pada umumnya. Dasar eksistensialisme adalah kebebasan
manusia, kebebasan yang membuat hidupnya bertanggungjawab untuk membuat
keputusan mengenai hidupnya sendiri.” Menurut penulis eksistensi manusia dalam
menunjukkan ke “aku-annya” dan kesombongannya adalah hal yang kurang pantas
untuk dikembangkan sebagai pengakuan yang konkret atas apa yang diraih dan
digapainya. Pada dasarnya Allah membenci yang congkak dan sombong (1 Pet. 5:5;
Yak. 4:6; Yes. 46:12). Manusia membutuhkan pribadi yang sanggup menolong dan
memberikan kekuatan yang baru setiap hari untuk dipimpin kepada jalan yang
benar dan sejati, yaitu Yesus Kristus (Mzm. 25:10; Ams. 15:9; Yoh. 14:6).
Pada halaman 15 paragraf terakhir mengenai hubungan filsafat dengan filsafat Kristen.
Filsafat umum senantiasa bertujuan membentuk atau merumuskan world view (Perspektif keseluruhan dari
mana orang melihat dan menafsirkan dunia) dan diikuti pada halaman 16 paragraf pertama sesuai dengan pemikiran George I.
Mavrodes mendefinisikan filsafat Kristen yang “dilakukan” oleh Kristen, yaitu
filsafat yang dipikirkan, diformulasikan, dan diekspresikan orang Kristen yang
berusaha berpegang teguh pada iman mereka dalam berbagai aspek kehidupan,
termasuk aspek intelektual. Filsafat Kristen sendiri bertujuan, untuk
melaksanakan komitmen rohani, yaitu menyembah, melayani, dan menikmati Tuhan
yang menyatakan diri melalui inkarnasi Yesus Kristen, Sang Kebenaran Sejati
(Carson dan Woodbridge (peny.), 2002:163). Dalam hal ini penulis sangat setuju dengan pernyataan di atas, karena filsafat
Kristen harus berakar kepada firman Allah yang hidup yang diambil dari
kebenaran Alkitab Perjanjian Lama (PL) dan Perjanjian Baru (PB) secara utuh
sehingga dalam menjelaskannya didapatkan kebenaran secara komprehensif (II Tim.
3:16; Yoh. 6:68). Filsafat secara umum akan membawa manusia kepada hal-hal yang
alami (empiris) dan yang tidak alami
(non-empiris) yakni dunia pengertian,
kepercayaan, sosial, karya, ekonomi, dan politik, semua termasuk di dalamnya
(B. S. Sidjabat, 1996:4). Apabila hal tersebut diterapkan dalam kehidupan
manusia, maka manusia akan menjadi tamak, menjadi hamba uang, menghalalkan
segala cara untuk mencapai maksud dan tujuannya, dan pada akhirnya akan jatuh
ke dalam dosa (I Tim. 6:10; II Tim.3:2; Ibr. 13:5). Pembaca jangan salah paham
dalam hal ini penulis tidak mengesampingkan filsafat umum, akan tetapi apabila
manusia berfilsafat harus bersedia menerima jawaban dari Allah sebagai wahyu
tertinggi yang telah nyata memproklamirkan bahwa “Allahlah kebenaran itu” (Yoh.
14:6; Why. 21:6; 22:13).
Penulis sangat setuju dengan penjelasan pada halaman
17-18 bab terakhir bahwa “terkait dengan monisme dan pluralisme tentang kepastian,
filsafat Kristen menjadi jawaban bagi sejarah epistemologi karena para filsuf dalam
mencari kepastian tiak sepakat tentang kemungkinan dan sifat-sifat kepastian bagi
suatu jenis pengetahuan tertentu. pengetahuan manusia, setidaknya dalam beberapa
hal, bersifat dapat salah atau merupakan kemungkinan. Hanya Allah yang dapat mengetahui
segala sesuatu secara pasti dan mutlak (Mzm. 139:1-6). Artinya, pengetahuan Allah
sesuai dengan realitas (Kel. 34:6; Bil. 23:19; Ul. 32:4) (Norman L. Geisler dan
Paul D. Feinberg, 2004:136-7).
TUJUAN
UNTUK GURU PAK
Tujuan bab 1 ini
menjelaskan bagaimana sejarah filsafat secara umum (filsafat India, Cina,
Barat), hubungan filsafat dengan filsafat Kristen, peran penting filsafat
Kristen agar pembaca memahaminya secara komprehensif sehingga dapat
mengembangkan hal tersebut sesuai dengan bidang profesi guru, dosen, praktisi
pendidikan dan sebagainya.
Dalam melakukan
pengembangan tersebut ke arah yang lebih mendalam diharapkan guru PAK dapat
menjelaskan Alkitab sebagai kebenaran yang Sejati yang tidak dapat ditentang
dan ditolak. Diharapkan pula guru PAK dapat mengubungkan filsafat umum dan
Kristen dalam bidang pelayanannya sehingga dapat menangkal ajaran-ajaran yang
sesat (Mat. 22:29; Yak. 1:16; 2 Pet. 2:1; Mzm. 119:105). Pada akhirnya filsafat
Kristen dapat menjadi motivasi manusia untuk mengubah sistem konseptualnya, konseptuan
yang humanis, naturalis, atau ateis diubah menjadi konseptual kristiani. Orang Kristen
tidak lagi sekadar percaya tanpa sadar, tetapi memiliki dasar dan alsan percaya.
Dasar dan alasan inilah yang akan mengatur mereka pada kesetiaan terhadap Tuhan
Yesus.
MANFAAT UNTUK GURU PAK
Dalam mengemban tugasnya
sebagai guru Pendidikan Agama Kristen (PAK) baik di sekolah, gereja dan masyarakat
sebaiknya para guru PAK harus memahami sejarah filsafat dan hubungannya dengan filsafat
Kristen, agar supaya tidak terjadi kesalahan di dalam mengejawantahkan pembelajaran
di dalam kelas, sebab setiap guru memiliki dan memunyai filsafat masing-masing.
Dan dari hal tersebut para guru juga berbeda dalam menerapkannya dalam setiap pembelajaran.
Teologi yang benar harus
dibahas dan direnungkan secara komprehensif agar mendapatkan hasil yang maksimal
dari apa yang dipelajari. Teologi harus diakui
sebagai pengetahuan adi kodrati yang metodis, sistematis, dan koheren, tentang hal
yang diwahyukan Allah yang berefleksi kepada iman. Jadi, sangat mendasar dalam teologi
adalah bahwa ia melibatkan wahyu Allah; Allah yang menyatakan diri dengan berbagai
cara.
Guru PAK harus dapat mengimplementasikan
wahyu Allah itu baik dari PL dan PB dalam setiap pembelajarannya. Juga filsafat
Kristen dapat memperkaya pemikiran teologi dan upaya berteologi (worldviewish theology) kita sendiri. Karena
kita hidup dalam konteks yang semakin mengacu kepada kemampuan intelektual dalam
menjalani kehidupan sehari-hari. Namun di
tengah kemajuan itu, Allah tetap memanggil kita untuk memainkan peran sebagai “garam dan terang dunia’ (Mat. 5:13-16).
Komentar