Pada bab depalan dari tulisan Herman
Horne dimulai dengan pembahasan mengenai perbandingan antara perkataan Yesus
dalam Injil Matius, Markus, Lukas dan Yohanes. Yesus menggunakan pertanyaan
yang utama, seperti: Mengapa kamu mencari Aku?... tidakkah kamu tahu,
bahwa Aku harus berada di dalam rumah Bapa-Ku?” (perkataan-Nya yang dicatat
pertama kali, Lukas 2:49). “Apakah
yang kamu cari?” (Yohanes 1:38).
“Kata Yesus kepadanya: “Mau apakah engkau dari pada-Ku, ibu? (Yohanes 2:4). “Apakah yang kamu pikirkan dalam hatimu? (Lukas 5:22) Manakah lebih mudah, mengatakan: ‘Dosamu sudah
diampuni’, atau mengatakan: ‘Bangunlah, dan berjalanlah’?” (Lukas 5:22-23). ”Mengapa kamu
memikirkan hal-hal yang jahat di dalam hatimu?” (Matius 9:4). “Maukah engkau sembuh?” (Yohanes 5:6). “Manakah yang diperbolehkan pada hari Sabat, berbuat baik atau
berbuat jahat, menyelamatkan nyawa orang atau membunuh orang?” (Markus 3:4).
Mengapa Yesus
menggunakan pertanyaan yang utama? Menurut penulis Yesus hendak menyatakan apa
yang menjadi kebutuhan utama orang tersebut, sehingga tidak menunda-nunda untuk
dilakukan. Yesus mengerti kebutuhan orang yang dilayani-Nya dan orang tersebut
dilihat apakah meresponi perkataan-Nya atau mengacuhkannya saja. Apabila
meresponinya maka dia akan mendapatkan pemulihan, kesembuhan, mukjizat, dan
lain-lain. Yesus mengajar senantiasa melibatkan keseluruhan dimensi dari
individu (dalam hal ini aspek fisik, pikiran, perasaan, suara hati, dan roh).
Hal senada juga dipaparkan oleh B.S. Sidjabat dalam bukunya “Mengajar secara
profesional” bahwa, tugas mengajar senantiasa melibatkan keseluruhan dimensi
dari individu karena manusia adalah makhluk berdimensi pribadi dan sosial (hlm.
21; 93).
Untuk apakah tujuan Yesus bertanya? Membuat orang berpikir. Mengunci
informasi untuk dirinya sendiri (Lukas 8:30). Mengekspresikan emosi (Apa emosi-emosi yang
diekspresikan? Lihat Yohanes 3:10; Lukas
5:22-23; Matius 12:34), Memperkenalkan sejarah, Mengikuti sejarah,
Menginggat orang yang dikenal (Markus
2:25-26), Membangkitkan suara hati, Mendatangkan iman (Markus 8:29), Mengubah situasi (Markus 10:3), Kritik kemarahan (Markus 2:25-26), Menimbulkan sebuan dilema (Markus 3:4). Menurut penulis bertanya merupakan metode yang efisien
dalam proses belajar mengajar, karena guru dapat mengetahui apa yang dipikirkan
oleh murid, ide-ide apa yang akan dibicarakan, tingkat pengetahuannya dalam
menjawab dan mencari solusi untuk sebuah pertanyaan dan tanggapan terhadap
pernyataan seseorang.
B.S. Sidjabat
dalam bukunya “Menjadi guru profesional” bahwa, Ia tidak hanya menerangkan,
tetapi juga bertanya dan merangsang orang untuk berpikir. Kadangkala Ia
memberikan ceramah secara panjang lebar ... Matius 5-7 (hlm. 20; 93). Berpikir membuat orang untuk mencari dan
menemukan sesuatu jawaban dari pertanyaan. Dalam proses belajar mengajar pun
guru harus melakukan hal ini, karena dengan perpikir siswa-siswi berarti ikut
berpartisipasi dalam pembelajaran.
Sedangkan Sardiman
dalam bukunya “Interaksi dan motivasi belajar mengajar” memaparkan ada delapan
jenis-jenis aktivitas dalam belajar diantaranya: oral activity, seperti: menyatakan, merumuskan, bertanya, memberi
saran, ... (hlm. 101; 2007) ini menjelaskan bahwa betapa pentingnya ‘bertanya’
dalam proses belajar mengajar.
Apakah Yesus
datang untuk bertanya atau untuk menjawab pertanyaan yang dilemparkan orang
Yahudi, Farisi, dan Saduki? Tentu saja Dia datang untuk melakukan kedua-duanya
dan keduanya, tetapi yang mana dari antara dua yang Dia tekankan? Itu dikatakan
Yesus bahwa itulah tujuan-Nya, sebagai Guru Agung, adalah dan tidak pernah
untuk mengganti alasan dan konsisten kepada umat manusia, tidak untuk
meringankan beban dari pikiran dan belajar, tetapi antara menambahkan beban,
untuk membuat orang lebih bersunguh-sungguh, lebih berkeinginan, lebih aktif
dalam pikiran dan rasa moral. Dia tidak datang untuk menjawab pertanyaan tetapi
untuk bertanya kepada mereka; tidak untuk menenangkan jiwa mereka tetapi untuk
menggusarkan mereka; tidak untuk menyelematkan manusia dari masalah tetapi
untuk menyelamatkan mereka dari kelambanan; tidak untuk memberi mereka hidup
yang mudah tetapi untuk membuat itu lebih edukatif.
Kita berhenti
dalam kesalahan ketika kita berpikir Kristus datang untuk memberikan kita
sebuah kunci untuk teks book hidup yang sulit. Dia datang untuk memberikan kita
menemukan buku teksbook, memanggil untuk gemar belajar, dan dalam ketaatan, dan
lebih berpendidikan dan pertimbangan yang tetap.
Terkadang Yesus dalam mengajar
melakukan hal-hal yang berikut. Dalam Yohanes 6. Sebuah jawaban dari sebuah
pertanyaan. Sebuah jawaban dalam bentuk dilema. Sebuah jawaban dari penanya
adalah baik sebagai pertanyaan. Nyata tetapi tidak jawaban jelas. Lihat Lukas 17:37. Sebuah jawaban berbeda
dari satu hal yang diinginkan. Sebuah jawaban dari bentuk sejarah. Jawaban
mendiamkan. Sebuah jawaban tidak langsung. Lihat Matius 18:1-6. Sebuah jawaban yang praktis untuk sebuah pertanyaan
akademik. Lihat Lukas 13:23-24.
Menurut penulis, terkadang
ada banyak guru yang tidak suka untuk ditanya oleh murid-muridnya! Mengapa?
Karena guru tersebut tidak mau dibuat pusing dengan pertanyaan-pertanyaan, guru
tidak memiliki pengetahuan yang cukup, guru cenderung introvet dan tidak mau membagikan pengetahuannya. Lain halnya
dengan Yesus, malahan Ia kerap kali ditanya dan Dia pun menjawab dengan perumpamaan
atau balik bertanya lagi, karena Ia mengingingkan mereka untuk berpikir dan
meninjau ulang lagi apa yang ditanyakan: apakah itu suatu kritkan, jebakan,
sindiran, hinaan, atau menguji saja. Bukannya Yesus tidak tahu jawabannya, atau
tidak mau menjawab, melainkan Ia mengalihkannya kepada tujuannya yaitu
memperkenalkan Kerajaan Allah, sifat dan karya-Nya kepada manusia (Yohanes 1:14, 18; 14:6). Ia juga
menjelaskan siapa diri-Nya, asal, tujuan hidup, serta pekerjaan-Nya yang sangat
utama (Yohanes 8:42, 58; 16:28). Ia
memberi pengajaran mengenai pribadi Roh Kudus, yang mengerjakan orientasi hidup
baru di dalam diri manusia (Yohanes 3:3,
5, 7; 7:38, 39; 14:26; 15:26, 27; 16:11-13). Hidup dan pelayanan-Nya
seutuhnya dipenuhi dengan kehadiran Roh Kudus (Lukas 3:21, 22; 4:1, 14; Matius 12:27, 28).
Guru yang baik
tidak hanya siap untuk menjawab tetapi juga memberi lebih dari jawaban kepada
murid-muridnya. Metode Yesus dalam mengajar bervariasi, bergantung kepada
tujuan, bahan, situasi pendengar, serta lingkungannya. Ia kerap kali mengajar
dengan perumpamaan untuk menyingkapkan rahasia kebenaran Injil Kerajaan Allah.
Sebagai seorang guru, Yesus mengajar berdasarkan otoritas, wibawa maupun kuasa.
Orang yang mendengar pengajaran-Nya
menjadi takjub, terpukau, dan kemudian memberi respon positif (Matius 7:28-29).
Menurut penulis,
tidak cukup guru hanya menambah bidang kognitifnya saja, juga harus memiliki
otoritas, wibawa maupun kuasa. Hal tersebut tidak didapatkan dari hikmat dunia
ini melainkan hanya dari pada Allah saja.
Leila Lewis
menjelaskan dalam bukunya “Mengajar untuk mengubah kehidupan” memaparkan bahwa
Yesus mengajar untuk mengubah manusia. (hlm. 10; 2003). Di dalam Yohanes 3 dan 4, diceritakan bahwa Nikodemus memerlukan pengertian siapakah Yesus
itu dan Yesus menghendaki supaya Nikodemus dilahirkan kembali secara rohani
bukan secara jasmani. Dan keadaannya setelah diajar adalah ia membela Yesus
secara terang-terangan di depan kawan-kawannya orang Farisi. Bukti bahwa ia
sudah tahu siapakah Yesus itu. Menguburkan jenazah Kristus sesudah disalibkan.
Contoh yang lain
adalah perempuan Samaria, yang memerlukan air hidup, yaitu Tuhan Yesus. Yesus
menghendaki agar ia mendapat air hidup, yaitu hidup yang kekal, kalau ia
percaya kepada kepada-Nya. Dan keadaannya sesudah diajar adalah pergi ke
Samaria dan bersaksi. Banyak orang percaya kepada Yesus karena kesaksiannya.
Penulis dapat melihat bahwa maksud pengajaran Yesus adalah mengubah kehidupan
manusia, inilah salah satu hal yang disebut Yesus sebagai Guru Agung. Memang
pengajaran-Nya menghasilkan perubahan. Sekarang yang menjadi pertanyaan bagi
guru-guru adalah apakah maksud pengajaran Yesus sama dengan maksud pengajaran
kita selama ini sebagai guru Agama? Apakah sesudah kita mengajar ada perubahan
hidup yang dialami oleh murid-murid kita? Inilah yang menjadi pergumulan setiap
guru Agama dalam mengajar, karena penulis pikir tidak asal mengajar saja di
dalam kelas. Karena itu adalah tanggung jawab yang besar dan perlu hikmat
Allah, melibatkan Roh Kudus dalam setiap pembelajaran.
Leila
menambahkan pula dalam halaman 74-75, bahwa syarat yang mutlak ialah guru harus
menerima Yesus sebagai Juruselamat pribadi.
Ia juga harus mempunyai kepastian bahwa ia telah diselamatkan
berdasarkan janji firman Allah (Yohanes
5:24). Menurut penulis, bagaimana seseorang dapat menyelamatkan orang
lain/anak didiknya kalau diapun belum diselamatkan! Bagaimana mengajarkan
tentang siapa Yesus, apabila belum mengenal pribadi Yesus yang sesungguhnya!
Dan yang kedua menurut Leila ialah guru harus menyerahkan seluruh hidupnya
kepada Tuhan. Dan menurut penulis dalam hal ini penyerahan hidup bukan hanya
sebatas persoalan hidup kita saja, melainkan seutuhnya tubuh ini hanya untuk
memuliakan Tuhan. Hidup bukan hanya dipakai untuk melakukan hal-hal yang
duniawi (berfoya-foya, mabuk, judi, nonton film porno, dan sebaginya) melainkan
menyerahkan sepenuhnya kepada Tuhan dan libatkan Roh Kudus untuk mengontrol
daging kita ini. Sebab daging kita adalah lemah dan cenderung menginginkan yang
duniawi.
Komentar