NELSON HASIBUAN 27: Tinjauan Buku Jesus The Teacher (Herman Horne)



Pada bab depalan dari tulisan Herman Horne dimulai dengan pembahasan mengenai perbandingan antara perkataan Yesus dalam Injil Matius, Markus, Lukas dan Yohanes. Yesus menggunakan pertanyaan yang utama, seperti: Mengapa kamu mencari Aku?... tidakkah kamu tahu, bahwa Aku harus berada di dalam rumah Bapa-Ku?” (perkataan-Nya yang dicatat pertama kali, Lukas 2:49). “Apakah yang kamu cari?” (Yohanes 1:38). “Kata Yesus kepadanya: “Mau apakah engkau dari pada-Ku, ibu? (Yohanes 2:4). “Apakah yang kamu pikirkan dalam hatimu? (Lukas 5:22)  Manakah lebih mudah, mengatakan: ‘Dosamu sudah diampuni’, atau mengatakan: ‘Bangunlah, dan berjalanlah’?” (Lukas 5:22-23). ”Mengapa kamu memikirkan hal-hal yang jahat di dalam hatimu?” (Matius 9:4). Maukah engkau sembuh?” (Yohanes 5:6). Manakah yang diperbolehkan pada hari Sabat, berbuat baik atau berbuat jahat, menyelamatkan nyawa orang atau membunuh orang?” (Markus 3:4).
Mengapa Yesus menggunakan pertanyaan yang utama? Menurut penulis Yesus hendak menyatakan apa yang menjadi kebutuhan utama orang tersebut, sehingga tidak menunda-nunda untuk dilakukan. Yesus mengerti kebutuhan orang yang dilayani-Nya dan orang tersebut dilihat apakah meresponi perkataan-Nya atau mengacuhkannya saja. Apabila meresponinya maka dia akan mendapatkan pemulihan, kesembuhan, mukjizat, dan lain-lain. Yesus mengajar senantiasa melibatkan keseluruhan dimensi dari individu (dalam hal ini aspek fisik, pikiran, perasaan, suara hati, dan roh). Hal senada juga dipaparkan oleh B.S. Sidjabat dalam bukunya “Mengajar secara profesional” bahwa, tugas mengajar senantiasa melibatkan keseluruhan dimensi dari individu karena manusia adalah makhluk berdimensi pribadi dan sosial (hlm. 21; 93).
Untuk apakah tujuan Yesus bertanya? Membuat orang berpikir. Mengunci informasi untuk dirinya sendiri (Lukas 8:30). Mengekspresikan emosi (Apa emosi-emosi yang diekspresikan? Lihat Yohanes 3:10; Lukas 5:22-23; Matius 12:34), Memperkenalkan sejarah, Mengikuti sejarah, Menginggat orang yang dikenal (Markus 2:25-26), Membangkitkan suara hati, Mendatangkan iman (Markus 8:29), Mengubah situasi (Markus 10:3), Kritik kemarahan (Markus 2:25-26), Menimbulkan sebuan dilema (Markus 3:4). Menurut penulis bertanya merupakan metode yang efisien dalam proses belajar mengajar, karena guru dapat mengetahui apa yang dipikirkan oleh murid, ide-ide apa yang akan dibicarakan, tingkat pengetahuannya dalam menjawab dan mencari solusi untuk sebuah pertanyaan dan tanggapan terhadap pernyataan seseorang.
B.S. Sidjabat dalam bukunya “Menjadi guru profesional” bahwa, Ia tidak hanya menerangkan, tetapi juga bertanya dan merangsang orang untuk berpikir. Kadangkala Ia memberikan ceramah secara panjang lebar ... Matius 5-7 (hlm. 20; 93). Berpikir membuat orang untuk mencari dan menemukan sesuatu jawaban dari pertanyaan. Dalam proses belajar mengajar pun guru harus melakukan hal ini, karena dengan perpikir siswa-siswi berarti ikut berpartisipasi dalam pembelajaran.
Sedangkan Sardiman dalam bukunya “Interaksi dan motivasi belajar mengajar” memaparkan ada delapan jenis-jenis aktivitas dalam belajar diantaranya: oral activity, seperti: menyatakan, merumuskan, bertanya, memberi saran, ... (hlm. 101; 2007) ini menjelaskan bahwa betapa pentingnya ‘bertanya’ dalam proses belajar mengajar.
Apakah Yesus datang untuk bertanya atau untuk menjawab pertanyaan yang dilemparkan orang Yahudi, Farisi, dan Saduki? Tentu saja Dia datang untuk melakukan kedua-duanya dan keduanya, tetapi yang mana dari antara dua yang Dia tekankan? Itu dikatakan Yesus bahwa itulah tujuan-Nya, sebagai Guru Agung, adalah dan tidak pernah untuk mengganti alasan dan konsisten kepada umat manusia, tidak untuk meringankan beban dari pikiran dan belajar, tetapi antara menambahkan beban, untuk membuat orang lebih bersunguh-sungguh, lebih berkeinginan, lebih aktif dalam pikiran dan rasa moral. Dia tidak datang untuk menjawab pertanyaan tetapi untuk bertanya kepada mereka; tidak untuk menenangkan jiwa mereka tetapi untuk menggusarkan mereka; tidak untuk menyelematkan manusia dari masalah tetapi untuk menyelamatkan mereka dari kelambanan; tidak untuk memberi mereka hidup yang mudah tetapi untuk membuat itu lebih edukatif.
Kita berhenti dalam kesalahan ketika kita berpikir Kristus datang untuk memberikan kita sebuah kunci untuk teks book hidup yang sulit. Dia datang untuk memberikan kita menemukan buku teksbook, memanggil untuk gemar belajar, dan dalam ketaatan, dan lebih berpendidikan dan pertimbangan yang tetap.
Terkadang Yesus dalam mengajar melakukan hal-hal yang berikut. Dalam  Yohanes 6. Sebuah jawaban dari sebuah pertanyaan. Sebuah jawaban dalam bentuk dilema. Sebuah jawaban dari penanya adalah baik sebagai pertanyaan. Nyata tetapi tidak jawaban jelas. Lihat Lukas 17:37. Sebuah jawaban berbeda dari satu hal yang diinginkan. Sebuah jawaban dari bentuk sejarah. Jawaban mendiamkan. Sebuah jawaban tidak langsung. Lihat Matius 18:1-6. Sebuah jawaban yang praktis untuk sebuah pertanyaan akademik. Lihat Lukas 13:23-24.
Menurut penulis, terkadang ada banyak guru yang tidak suka untuk ditanya oleh murid-muridnya! Mengapa? Karena guru tersebut tidak mau dibuat pusing dengan pertanyaan-pertanyaan, guru tidak memiliki pengetahuan yang cukup, guru cenderung introvet dan tidak mau membagikan pengetahuannya. Lain halnya dengan Yesus, malahan Ia kerap kali ditanya dan Dia pun menjawab dengan perumpamaan atau balik bertanya lagi, karena Ia mengingingkan mereka untuk berpikir dan meninjau ulang lagi apa yang ditanyakan: apakah itu suatu kritkan, jebakan, sindiran, hinaan, atau menguji saja. Bukannya Yesus tidak tahu jawabannya, atau tidak mau menjawab, melainkan Ia mengalihkannya kepada tujuannya yaitu memperkenalkan Kerajaan Allah, sifat dan karya-Nya kepada manusia (Yohanes 1:14, 18; 14:6). Ia juga menjelaskan siapa diri-Nya, asal, tujuan hidup, serta pekerjaan-Nya yang sangat utama (Yohanes 8:42, 58; 16:28). Ia memberi pengajaran mengenai pribadi Roh Kudus, yang mengerjakan orientasi hidup baru di dalam diri manusia (Yohanes 3:3, 5, 7; 7:38, 39; 14:26; 15:26, 27; 16:11-13). Hidup dan pelayanan-Nya seutuhnya dipenuhi dengan kehadiran Roh Kudus (Lukas 3:21, 22; 4:1, 14; Matius 12:27, 28).  
Guru yang baik tidak hanya siap untuk menjawab tetapi juga memberi lebih dari jawaban kepada murid-muridnya. Metode Yesus dalam mengajar bervariasi, bergantung kepada tujuan, bahan, situasi pendengar, serta lingkungannya. Ia kerap kali mengajar dengan perumpamaan untuk menyingkapkan rahasia kebenaran Injil Kerajaan Allah. Sebagai seorang guru, Yesus mengajar berdasarkan otoritas, wibawa maupun kuasa. Orang yang mendengar  pengajaran-Nya menjadi takjub, terpukau, dan kemudian memberi respon positif (Matius 7:28-29).
Menurut penulis, tidak cukup guru hanya menambah bidang kognitifnya saja, juga harus memiliki otoritas, wibawa maupun kuasa. Hal tersebut tidak didapatkan dari hikmat dunia ini melainkan hanya dari pada Allah saja.
Leila Lewis menjelaskan dalam bukunya “Mengajar untuk mengubah kehidupan” memaparkan bahwa Yesus mengajar untuk mengubah manusia. (hlm. 10; 2003). Di dalam Yohanes 3 dan 4, diceritakan bahwa Nikodemus memerlukan pengertian siapakah Yesus itu dan Yesus menghendaki supaya Nikodemus dilahirkan kembali secara rohani bukan secara jasmani. Dan keadaannya setelah diajar adalah ia membela Yesus secara terang-terangan di depan kawan-kawannya orang Farisi. Bukti bahwa ia sudah tahu siapakah Yesus itu. Menguburkan jenazah Kristus sesudah disalibkan.
Contoh yang lain adalah perempuan Samaria, yang memerlukan air hidup, yaitu Tuhan Yesus. Yesus menghendaki agar ia mendapat air hidup, yaitu hidup yang kekal, kalau ia percaya kepada kepada-Nya. Dan keadaannya sesudah diajar adalah pergi ke Samaria dan bersaksi. Banyak orang percaya kepada Yesus karena kesaksiannya. Penulis dapat melihat bahwa maksud pengajaran Yesus adalah mengubah kehidupan manusia, inilah salah satu hal yang disebut Yesus sebagai Guru Agung. Memang pengajaran-Nya menghasilkan perubahan. Sekarang yang menjadi pertanyaan bagi guru-guru adalah apakah maksud pengajaran Yesus sama dengan maksud pengajaran kita selama ini sebagai guru Agama? Apakah sesudah kita mengajar ada perubahan hidup yang dialami oleh murid-murid kita? Inilah yang menjadi pergumulan setiap guru Agama dalam mengajar, karena penulis pikir tidak asal mengajar saja di dalam kelas. Karena itu adalah tanggung jawab yang besar dan perlu hikmat Allah, melibatkan Roh Kudus dalam setiap pembelajaran.
            Leila menambahkan pula dalam halaman 74-75, bahwa syarat yang mutlak ialah guru harus menerima Yesus sebagai Juruselamat pribadi.  Ia juga harus mempunyai kepastian bahwa ia telah diselamatkan berdasarkan janji firman Allah (Yohanes 5:24). Menurut penulis, bagaimana seseorang dapat menyelamatkan orang lain/anak didiknya kalau diapun belum diselamatkan! Bagaimana mengajarkan tentang siapa Yesus, apabila belum mengenal pribadi Yesus yang sesungguhnya! Dan yang kedua menurut Leila ialah guru harus menyerahkan seluruh hidupnya kepada Tuhan. Dan menurut penulis dalam hal ini penyerahan hidup bukan hanya sebatas persoalan hidup kita saja, melainkan seutuhnya tubuh ini hanya untuk memuliakan Tuhan. Hidup bukan hanya dipakai untuk melakukan hal-hal yang duniawi (berfoya-foya, mabuk, judi, nonton film porno, dan sebaginya) melainkan menyerahkan sepenuhnya kepada Tuhan dan libatkan Roh Kudus untuk mengontrol daging kita ini. Sebab daging kita adalah lemah dan cenderung menginginkan yang duniawi.

Komentar